Sabtu, 06 Desember 2025

Reinkarnasi Deforestasi Lingkungan di TPA Rawa Kucing

TPA Rawa Kucing

Kota Tangerang, bantensatu.id – Praktik pengelolaan limbah yang tidak berkelanjutan di sekitar Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Rawa Kucing kembali menjadi sorotan. Meskipun area tersebut sebelumnya telah dikenai sanksi administratif dan penyegelan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lapak-lapak Tempat Pembuangan Sampah (TPS) liar dilaporkan kembali menjamur, mengindikasikan kegagalan mitigasi krisis lingkungan yang sistemik.

Fenomena penjamuran kembali TPS liar ini, yang terjadi setelah penetapan tersangka mantan Kepala DLH Kota Tangerang oleh Gakkum KLHK pada akhir tahun lalu, menunjukkan adanya kelemahan fundamental dalam rantai pengawasan dan penegakan hukum di tingkat lokal.
Para pengamat lingkungan, termasuk perwakilan dari WALHI Jakarta, sebelumnya telah menekankan bahwa insiden kebakaran dan masalah TPA Rawa Kucing adalah akibat dari sistem open dumping yang harus ditinggalkan. Situasi terkini membuktikan bahwa ketiadaan solusi pengelolaan sampah terpadu yang efektif menciptakan ruang hampa ( regulatory vacuum ) yang dieksploitasi oleh pelaku usaha ilegal.
“Respons pemerintah daerah yang hanya sebatas memberikan peringatan administratif dengan tenggat waktu yang fleksibel tanpa tindakan penyegelan paksa menunjukkan lemahnya komitmen dalam mengatasi krisis ekologis ini,” ujar salah satu aktivis lingkungan.
Permasalahan di TPA Rawa Kucing bukanlah hal baru. Kawasan ini telah lama menjadi episentrum masalah pengelolaan sampah di Kota Tangerang.
Februari 2022,  KLHK sebelumnya telah memberikan sanksi paksaan pemerintah kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang akibat pengelolaan TPA yang dinilai melanggar standar, terutama penerapan sistem open dumping.

Desember 2024,  Situasi memuncak ketika Penyidik Gakkum KLHK menetapkan mantan Kepala DLH Kota Tangerang sebagai tersangka, menyegel beberapa lapak, dan menegaskan aspek pidana lingkungan hidup.

November 2025, Meskipun ada preseden hukum tersebut, lapak limbah liar kembali beroperasi secara terselubung. Kurangnya pengawasan berkelanjutan pasca-penyegelan diduga menjadi faktor utama “reinkarnasi” TPS ilegal ini.

Baca juga: Jejak Kronis Kontaminasi Cesium-137 di Cikande Terungkap, Indikasi Paparan Laten Sejak 2021

Dampak dari pengabaian ini bersifat multidimensi, mulai dari pencemaran air tanah oleh cairan lindi (leachate), gangguan kesehatan masyarakat sekitar, hingga potensi bencana lingkungan yang lebih besar. Perkembangan terbaru ini menuntut intervensi yang lebih tegas dan terkoordinasi antara Pemkot Tangerang, KLHK, dan aparat penegak hukum lainnya untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan hidup.

Berikut adalah pemaparan informatif dengan pendekatan akademis mengenai temuan operasional empat fasilitas pemrosesan limbah tidak resmi (TPS Liar) di wilayah administratif Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, yang menunjukkan resistensi terhadap intervensi regulasi dan administratif lokal.

Data spasial mengkonfirmasi keberadaan konsentrasi aktivitas pembuangan ilegal pada dua locus utama di Neglasari, yaitu Kelurahan Kedaung Baru dan Kelurahan Kedaung Wetan. Masing-masing titik dikelola oleh entitas perorangan dengan inisial DS, O, W, dan H.
Tabel 1: Karakteristik Operasional dan Status Kepatuhan TPS Liar

Entitas Pengelola Lokasi Spesifik (Locus) Estimasi Volume/Asal Limbah Status Intervensi Administratif Status Kepatuhan Terkini
Inisial Pengelola. DS RT 001/001, Kedaung Baru (Adjacent Pabrik Kwetiau)

3 truk/hari (Sumber: Tangerang Selatan)

Peringatan DLH Kota Tangerang (29 Agustus 2025); Tenggat 2 bulan relokasi. In-operasional (Mengabaikan)
Inisial Pengelola O RT 001/001, Kedaung Baru

±plus or minus

±

2 truk cold diesel/hari (Sumber: PIK Cengkareng, Jakarta)

Peringatan tertulis Camat Neglasari (12 November 2025); Tenggat 2 minggu relokasi. In-operasional (Mengabaikan)
Inisial Pengelola W RT 001/001, Kedaung Baru Data volume/asal tidak terperinci Belum ada informasi intervensi publik In-operasional (Eksis)
Inisial Pengelola H RT 003/001, Kedaung Wetan Data volume/asal tidak terperinci Peringatan Pertama Camat Neglasari (25 November 2025) In-operasional (Mengabaikan)
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Rawa Kucing di Kota Tangerang saat ini berada dalam kondisi dilematis. Meskipun Pemerintah Kota Tangerang menyatakan aktivitas pembuangan sampah berjalan normal, situasi di lapangan justru kritis. Kapasitas TPA telah melampaui batas (overcapacity), sementara laporan per akhir November 2025 mengindikasikan bahwa lapak-lapak limbah ilegal dan TPS liar di area sekitar TPA justru semakin menjamur, menandakan kegagalan penanganan masalah pengelolaan ilegal secara tuntas.
Krisis ini berakar pada kegagalan sistemik masa lalu. Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (Kadis LH) Kota Tangerang bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Desember 2024 terkait kasus pencemaran lingkungan di TPA tersebut, menggarisbawahi adanya malpractice yang kini ditangani melalui proses hukum. Di tengah upaya Pemkot mempercepat penataan ulang landfill dan menguji coba teknologi seperti Refuse Derived Fuel (RDF) untuk menurunkan volume sampah hingga 30% pada tahun 2026, proyek vital Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL) senilai triliunan rupiah yang dijadwalkan beroperasi Juni 2025 justru gagal terealisasi.
Kondisi lingkungan TPA saat ini digambarkan sebagai cerminan kegagalan tata kelola sampah perkotaan, di mana gunungan sampah mengancam kesehatan warga sekitar dan berpotensi memicu sanksi karena praktik open dumping yang dilarang. Situasi ini memicu respons beragam dari berbagai pihak.
“Pemerintah Kota harus serius, jangan hanya wacana teknologi canggih, tapi masalah dasar seperti lapak ilegal dan kapasitas TPA yang jebol ini tidak tertangani. Transparansi anggaran PSEL juga harus dibuka,” desak Rahman, seorang aktivis dan jurnalis lingkungan setempat.
TPA Rawa Kucing adalah manifestasi nyata dari kompleksitas pengelolaan sampah urban di Indonesia yang  diapit oleh janji-janji solusi teknologi masa depan yang belum terwujud dan bayang-bayang kelalaian masa lalu yang berujung pada status tersangka pejabat.
Keberadaan lokasi pengelolaan sampah ilegal yang makin marak menunjukkan adanya kegagalan pengawasan yang akut. Krisis ini bukan sekadar soal tumpukan sampah, melainkan krisis tata kelola pemerintahan yang menguji sejauh mana komitmen eksekutif dan legislatif dalam menjamin hak dasar warga atas lingkungan hidup yang sehat dan aman.
Transparansi dan akuntabilitas adalah harga mati, dan segala upaya meredam kritik, seperti dugaan intervensi intelijen terhadap jurnalis, merupakan preseden buruk bagi demokrasi lokal yang harus dihentikan. (Irin Masi/ARM)

Tags

Terkini