Sabtu, 06 Desember 2025

Resistensi Kultural Baduy, Dilema Otonomi Adat versus Imperatif Birokrasi Dana Desa

Jaro Oom atau Kedes Kenekes saat membahas persoalan warga baduy
LEBAK, bantensatu.id-Desa Kanekes, yang dihuni oleh masyarakat adat Baduy di Kabupaten Lebak, Banten, secara konsisten menolak alokasi Dana Desa (DD) dari pemerintah pusat sejak program tersebut diimplementasikan pada tahun 2017. Penolakan ini berakar kuat pada komitmen masyarakat untuk memegang teguh pikukuh atau aturan adat mereka, yang mengamanatkan pemeliharaan kemandirian dan penolakan terhadap intervensi eksternal yang berpotensi menggerus nilai-nilai tradisional dan kelestarian lingkungan.
Konsekuensinya, operasional pemerintahan desa, termasuk honorarium Kepala Desa dan perangkatnya, tidak dibiayai oleh APBN, melainkan ditopang secara swadaya, ironisnya sebagian besar bersumber dari kontribusi sektor pariwisata, sebuah bentuk interaksi dengan dunia modern yang mereka batasi.
Awal penyebab penolakan ini didasari oleh kekhawatiran mendalam para pemangku adat bahwa penerimaan dana pemerintah akan membawa serta kewajiban administratif, terutama tuntutan pelaporan pertanggungjawaban keuangan yang formalistik dan penggunaan material modern dalam pembangunan infrastruktur, seperti semen atau genteng, yang secara diametral bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan alami Baduy.
Kronologinya, setiap tahun pemerintah pusat mengalokasikan miliaran rupiah—mencapai sekitar Rp2,5 miliar per tahun—untuk Desa Kanekes, namun dana tersebut tidak terserap dan tetap berada di kas negara karena adanya sikap resisten kolektif ini. Pihak desa menegaskan bahwa sulit untuk menyelaraskan aturan pelaporan modern dengan sistem nilai adat yang telah berlangsung turun-temurun. Dampak jangka panjang dari situasi ini mencakup potensi kerentanan finansial bagi perangkat desa yang tidak menerima penghasilan tetap dari pemerintah, serta ketergantungan yang tidak terduga pada sektor pariwisata yang sifatnya fluktuatif. Di sisi lain, sikap ini memperkuat ketahanan budaya dan kemandirian masyarakat adat, menjaga wilayah mereka dari eksploitasi pembangunan fisik yang berlebihan.
“Kami tidak bisa terima dana itu, karena aturan dari sananya itu (Pemerintah-red) berbenturan dengan aturan adat kami. Sulit dijelaskan, tapi kami patuh pada adat.”. Demikian dikatakan Kepala Desa Kanekes atau Jaro Oom kepada awak media .
Ia juga menjelaskan salah satu alasannya ialah harus membuat laporan keuangan secara formil penggunaanya seperti pembelian bahan bahan material genteng, semen, kaca dan lain sebagainya padahal material tersebut bertentangan dengan adat sebagian besarnya.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh pihak pemerintah daerah. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Kabupaten Lebak, Rusito, dalam keterangan resminya kepada wartawan pada awal Desember 2024, membenarkan situasi tersebut.
“Dana itu dialokasikan tiap tahun, ada di APBN. Tapi memang ditolak oleh pihak desa. Mereka khawatir pembangunan dengan dana itu akan merusak kelestarian adatnya.”
Pemerintah setempat melalui Pemerintah Kabupaten Lebak dilaporkan telah berkoordinasi dan meminta petunjuk teknis kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) di tingkat pusat untuk mencari formulasi pengelolaan dana yang dapat mengakomodasi kekhasan masyarakat adat, sehingga alokasi dana dapat dimanfaatkan tanpa mencederai kearifan lokal.
Kasus Desa Kanekes merepresentasikan paradoks fundamental dalam administrasi negara modern, akankah kebijakan pembangunan yang seragam dipaksakan pada entitas kultural yang memiliki otonomi asli yang teruji, atau haruskah negara merevisi kerangka regulasinya demi menghormati eksistensi kearifan lokal?
Fenomena ini bukan sekadar penolakan bantuan finansial, melainkan sebuah pernyataan politik-kultural yang menggugat definisi “kesejahteraan” dan “kemajuan” yang sering kali diidentikkan dengan modernisasi fisik. Ini adalah cermin kritis bagi pemerintah untuk merumuskan pendekatan yang lebih inklusif dan kontekstual dalam mengelola keberagaman Indonesia, agar otonomi masyarakat adat tidak hanya diakui di atas kertas, tetapi juga dalam implementasi kebijakan anggaran yang sensitif secara kultural.( Ilham Kusuma)

Tags

Terkini