PANDEGLANG, bantensatu.id – Ketika infrastruktur yang menjadi urat nadi kehidupan runtuh, masyarakat tidak lagi memiliki kemewahan untuk menunggu. Di Desa Keramatjaya, Kecamatan Cimanggu, sebuah drama tentang ketangguhan sosial dan kegagalan sistemik tersaji saat ribuan warga memutuskan untuk mengambil alih peran negara yang dianggap tertatih dalam merespons krisis.
Tragedi bermula pada 7 Desember 2025, saat jembatan utama yang mengoneksikan empat desa strategis—Cibadak, Tugu, Keramatjaya, dan Rancapinang—luluh lantak akibat beban berlebih dari sebuah truk pengangkut material. Dalam sekejap, isolasi geografis menghantui ribuan jiwa, akses pendidikan terputus, distribusi pangan terhenti, dan layanan kesehatan menjadi barang mahal yang sulit dijangkau.
Pasca-ambruknya struktur tersebut, warga dihadapkan pada ketidakpastian. Alasan warga memilih jalur swadaya dan iuran bersama bukanlah karena kelimpahan materi, melainkan bentuk pertahanan hidup (survival mechanism-red).
“Kami tidak bisa memberi makan keluarga kami dengan janji survei atau proses lelang yang memakan waktu berbulan-bulan. Anak-anak kami harus sekolah, dan hasil tani kami membusuk jika tidak segera diseberangkan,” ujar Suryana (45), salah satu tokoh warga setempat yang turut mengoordinasikan pengumpulan dana.
Warga secara kolektif mengumpulkan donasi, mulai dari pecahan ribuan rupiah hingga sumbangan material bangunan. Puncaknya pada Senin( 15/12/25), aksi massa berubah menjadi kerja bakti kolosal. Sebelumnya sejak jembatan tersebut mengalami rusak parah dan tidak bisa dipergunakan lagi, seminggu setelah terisolasi total, stok kebutuhan pokok mulai menipis dan tekanan psikologis warga mencapai titik jenuh.
“Kami patungan bukan karena kami kaya, tapi karena kami butuh hidup. Jembatan ini adalah nyawa kami. Pemerintah mungkin melihat ini sebagai prosedur, tapi bagi kami ini adalah nafas,” pungkas seorang warga saat mengaduk semen secara manual
Meski dibangun dengan keterbatasan alat, struktur darurat yang diinisiasi warga ini memiliki spesifikasi teknis yang cukup fungsional untuk mobilitas jangka pendek, yakni Panjang: 18 Meter, Lebar: 2,5 Meter, denganmenggunakan material kombinasi gelondongan kayu keras (log) dengan bantalan papan serta penguat kawat baja di titik-titik tumpu krusial. Jembatan ini dirancang khusus untuk kendaraan roda dua dan pejalan kaki, guna menjamin konektivitas tetap terjaga tanpa risiko beban berat.
Agus Salim, aktivis dari Forum Pemerhati Pembangunan Pandeglang, memberikan kritik tajam, Pemkab Pandeglang, Ia menyinggung lambannya penanganan pihak pemkab dengan alasan birokrasi, padahal jembatan tersebut satu satunya akses warga.
“Aksi gotong royong ini adalah tamparan keras bagi Pemerintah Kabupaten Pandeglang. Ini adalah bukti nyata bahwa ‘social capital’ masyarakat jauh lebih responsif dibanding birokrasi kita. Negara seharusnya malu ketika rakyat harus merogoh kocek sendiri untuk memperbaiki infrastruktur yang merupakan kewajiban konstitusional pemerintah.” terangnya
Pemkab Pandeglangh melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pandeglang, memberikan klarifikasi atas tudingan kelambanan.
“Kami mengapresiasi inisiatif warga sebagai bentuk partisipasi publik. Namun, perlu dipahami bahwa pemerintah terikat oleh regulasi anggaran dan prosedur teknis pengadaan barang/jasa yang tidak bisa instan. Sejak kejadian tanggal 7, kami telah melakukan kaji cepat dan pada 15 Desember ini kami juga secara paralel menurunkan tim untuk mendampingi pembangunan jembatan darurat yang lebih permanen melalui dana tanggap darurat.” ujarnya
Fenomena di Cimanggu ini menjadi monumen hidup tentang betapa kuatnya ikatan sosial di pedesaan Pandeglang. Namun, di sisi lain, ia menyisakan pertanyaan besar bagi para pemangku kebijakan, Sampai kapan rakyat harus menjadi “pahlawan” bagi masalah yang seharusnya diselesaikan oleh sistem?.
Hingga berita ini diturunkan, jembatan darurat hasil keringat warga telah mulai beroperasi, mengalirkan kembali denyut ekonomi dan harapan bagi ribuan jiwa yang sempat terbelenggu oleh reruntuhan beton.(Azis Kurnia/ARM)


