JAKARTA, bantensatu.id-Memasuki penghujung tahun 2025, panggung politik nasional diguncang oleh gelombang resistensi rakyat yang kian masif terhadap wacana pengembalian pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD. Kebijakan yang diembuskan oleh sejumlah elite parpol ini dinilai bukan sebagai solusi efisiensi anggaran, melainkan sebuah kemunduran demokrasi yang dibalut kepentingan oligarki.
Wacana Pilkada tidak langsung atau pemilihan melalui legislatif daerah (DPRD) kembali memicu turbulensi politik di tanah air. Di tengah evaluasi kinerja partai politik tahun 2025, muncul gerakan akar rumput bertajuk “Gerakan Rakyat Tolak Pilkada Lewat DPRD” yang secara tegas menyatakan bahwa hak pilih adalah kedaulatan mutlak yang tidak boleh dikomodifikasi oleh kepentingan elite.
Sejumlah pimpinan partai politik, termasuk Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, berargumen bahwa Pilkada langsung selama ini memicu biaya politik yang melangit dan menjadi akar korupsi kepala daerah. Namun, narasi ini dimentahkan oleh para pemerhati politik yang melihat adanya bahaya laten yang lebih besar jika pemilihan ditarik ke ruang-ruang tertutup DPRD.
Pengamat Politik dari Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago, menegaskan bahwa Pilkada melalui DPRD bukanlah solusi bagi politik biaya tinggi.
“Yang terjadi justru konsentrasi dana dari kampanye massal beralih ke lobi elite di ruang gelap legislatif yang sulit diawasi publik,” ujarnya pada 24 Desember 2025.
Senada, analis politik Jerry Massie menekankan bahwa untuk mempertahankan substansi demokrasi, rakyat harus tetap menjadi pemegang mandat tunggal pemilihan pemimpinnya.
Para aktivis anti-korupsi dan masyarakat sipil mencurigai adanya “bau amis” kolusi di balik antusiasme parpol mendorong sistem ini. Penunjukan kepala daerah melalui DPRD dianggap sangat rentan terhadap politik uang yang tersembunyi dan transaksi di bawah tangan antara calon pemimpin daerah dengan pimpinan partai di daerah.
Dugaan kolusi ini mencuat seiring dengan kekhawatiran bahwa Pilkada melalui DPRD hanya akan menguntungkan partai-partai besar yang memiliki dominasi kursi di daerah, sehingga menutup peluang bagi calon-calon potensial di luar lingkaran kekuasaan elit.
Merespons wacana ini, masyarakat melalui berbagai kanal media sosial menyuarakan penolakan keras. Gerakan ini menekankan bahwa alasan efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan kualitas demokrasi lokal, mulai dari pemerhati politik yang menilai wacana ini sebagai bentuk pelemahan demokrasi lokal secara sistematis, begitu pula masyarakat luas yang erasa hak dasar mereka untuk menentukan arah pembangunan daerah sedang dirampas demi kepentingan pragmatis sesaat lalu aktivis kemanusiaan yang menyoroti bahwa Pilkada melalui DPRD hanya akan memperkuat cengkeraman dinasti politik di daerah-daerah yang jauh dari pengawasan pusat.
Tahun 2025 menjadi saksi bisu ujian integritas bagi partai politik di Indonesia. Apakah parpol akan tetap menjadi instrumen kedaulatan rakyat, atau justru menjelma menjadi “broker kekuasaan” yang menjauhkan pemimpin dari rakyatnya sendiri? Penolakan masif terhadap Pilkada melalui DPRD adalah sinyal kuat bahwa rakyat Indonesia belum siap menyerahkan hak suaranya kembali ke tangan elite.(Ajie Pangestu)




