KOTA TANGERANG, bantensatu.id – Forum Suara Rakyat Kota Tangerang (FSRKT) atau Forum Suara Publik, sebuah entitas organisasi masyarakat sipil yang konsisten mengawal isu-isu agraria dan tata ruang, telah melancarkan demonstrasi massa di kompleks Pusat Pemerintahan (Puspem) Kota Tangerang pada Rabu, 3 Desember 2025. Unjuk rasa ini merupakan eskalasi respons kolektif terhadap tindakan sepihak PT Grand Nirwana Indah (GNI) yang melakukan otonomi penutupan akses vital publik, yakni Gang H. Duloh di wilayah Kedaung Wetan, yang secara signifikan berdampak pada mobilitas fundamental warga lokal.
Demonstrasi ini berakar dari keresahan akut warga akibat kebijakan segregasi spasial oleh pengembang properti swasta. Penutupan akses tersebut dinilai telah mengkooptasi hak dasar warga atas perlintasan umum. Aksi di Puspem ini didahului oleh protes pendahuluan di depan kantor PT GNI pada Selasa, 2 Desember 2025.
Massa aksi, dikoordinasikan oleh Saepul Basri selaku Koordinator FSRKT, secara eksplisit menuntut intervensi eksekutif dan legislatif daerah. Tuntutan utamanya bersifat imperatif yakni mendesak PT GNI untuk segera merekonstitusi dan membuka kembali akses jalan Gg. H. Duloh demi memulihkan konektivitas sosial-ekonomi masyarakat setempat. Aksi ini tidak hanya berhenti pada retorika jalanan, melainkan diwujudkan dalam bentuk “Tenda Keadilan” sebagai simbol perlawanan permanen dan tuntutan akan supremasi hukum tata ruang.
Gerakan kolektif FSRKT ini berhasil memicu respons dari pemangku kebijakan dan pihak terkait. Saepul Basri, dalam orasinya, menekankan pentingnya peran pemerintah daerah sebagai regulator dan fasilitator hak publik.
“Penutupan ini adalah preseden buruk dalam penegakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pemerintah Kota tidak boleh abai terhadap kapitalisasi ruang publik oleh entitas swasta,” ujar Bung Marcel, sapaan akrabnya.
Aksi ini membuahkan hasil positif. Setelah negosiasi tripartit yang melibatkan perwakilan FSRKT, aparatur Pemkot, dan manajemen PT GNI, tercapai kesepakatan bahwa PT GNI diwajibkan untuk membuka kembali akses jalan tersebut. Komitmen ini menandai kemenangan awal bagi warga dalam mempertahankan hak komunal mereka atas aksesibilitas.
Meskipun hasil aksi ini tampak solutif, insiden ini menyisakan catatan mengenai tata kelola pemerintahan di Kota Tangerang. Fenomena penutupan akses publik oleh pengembang swasta mengindikasikan adanya potensi lemahnya pengawasan dan penegakan regulasi perizinan yang akuntabel.
Kasus ini menyoroti dilema fundamental antara percepatan investasi pembangunan infrastruktur properti dengan jaminan perlindungan hak-hak dasar masyarakat lokal.
Aksi FSRKT ini menjadi simptom dari ketidakpuasan masyarakat sipil terhadap potensi abrasi transparansi dalam proses perizinan tata ruang. Kemenangan warga dalam membuka kembali Gg. H. Duloh seharusnya tidak hanya dilihat sebagai penyelesaian kasus per kasus, melainkan sebagai momentum reflektif bagi Pemerintah Kota Tangerang untuk mereevaluasi seluruh kerangka regulasi yang ada, memastikan bahwa pembangunan yang dilaksanakan bersifat inklusif dan tidak mengorbankan aksesibilitas serta kehidupan fundamental warga demi keuntungan segelintir korporasi. Supremasi hak publik harus tetap menjadi parameter utama dalam setiap kebijakan pembangunan kota.(Irin Masi/ARM)


