Peristiwa tragis ini dilaporkan terjadi pada tanggal 23 Agustus 2025. Namun, korban yang disebut saja Melati (13), baru berani bercerita kepada keluarga pada tanggal 7 November 2025, karena mengalami tekanan dan perundungan di sekolah. Pada hari yang sama (7 November), keluarga korban, didampingi kuasa hukum Syukron Nur Arifin dan UPTD PPA, melaporkan kasus ini ke Polres Metro Tangerang Kota.
Fakta miris terungkap di balik kasus dugaan pelecehan seksual di SMPN 19 Kota Tangerang. Oknum guru berinisial MRF diduga mencabuli siswinya yang berusia 13 tahun dengan modus operandi memanfaatkan ruang laboratorium komputer yang sepi.
Kuasa hukum korban, Syukron Nur Arifin, merinci kronologi kejadian tragis yang terjadi pada 23 Agustus 2025, sekitar pukul 14.10 WIB.
Kronologi Singkat:
- Modus Awal: Korban meminta tolong pelaku MRF untuk menghubungi kakaknya agar menjemput di sekolah.
- Jebakan Ruang Lab: Saat panggilan tak terjawab, korban hendak meninggalkan ruang labkom. Namun, pelaku menarik korban masuk kembali.
- Aksi Terlarang: Di dalam ruangan itulah, MRF diduga melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap korban. “Anak ini sempat akan keluar dari ruang lab, tapi ditarik oleh pelaku,” ungkap Syukron.
Akibat insiden tersebut, korban mengalami tekanan psikologis berat, perundungan di sekolah, dan menolak masuk kelas. Korban yang awalnya bungkam, akhirnya memberanikan diri bercerita kepada kakaknya (TA) pada 7 November 2025.
Respons keluarga sangat cepat. “Kakaknya mendengar cerita adiknya itu marah besar, langsung melaporkan kejadian yang dialami adiknya ke Polres Metro Tangerang Kota hari itu juga,” kata Syukron.
Syukron menyoroti ironi bahwa, hingga wawancara (3 Desember 2025), terduga pelaku masih aktif mengajar. Akibatnya, korban terpaksa mengikuti Ujian Akhir Semester dari rumah dan mendesak pindah sekolah. Pihak kuasa hukum menekankan perlunya percepatan proses hukum untuk menjamin keadilan bagi korban
Pada 17 November 2025, UPTD PPA menggelar pertemuan klarifikasi dengan pihak sekolah dan Komnas Anak Kota Tangerang, yang menghasilkan keputusan penting: korban difasilitasi mengikuti ujian dari rumah dan diberikan opsi perpindahan sekolah untuk pemulihan trauma.
Baca juga: Bagaimana Teknologi Mendorong Transformasi dalam Sistem Hukum Modern
Pemerintah Kota Tangerang menunjukkan sikap zero tolerance. Plt Kepala Dinas Pendidikan Kota Tangerang, Ruta Ireng Wicaksono, menegaskan bahwa terduga pelaku MRF telah resmi dinonaktifkan sejak laporan diterima, sambil menunggu proses hukum berjalan.
“Tidak ada kompromi untuk tindakan pelecehan, baik verbal, fisik maupun seksual,” tegas Ruta, pada Rabu (3/12/2025) lalu.
Dinas Pendidikan memastikan hak belajar korban tetap terpenuhi dengan memfasilitasi ujian dari rumah dan pendampingan psikologis.
Baca juga: Mengapa Kesadaran Hukum Penting dalam Aktivitas Sehari-hari
Terpisah, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Tangerang Tihar Sopian memastikan pihaknya bergerak cepat menindaklanjuti laporan dugaan pelecehan terhadap siswi SMPN 19. Pemkot Tangerang berkomitmen memberikan pendampingan hukum, pemulihan psikologis, serta menjamin hak pendidikan korban.
Tihar menjelaskan, pihaknya segera melakukan pendampingan komprehensif, baik dari sisi hukum maupun pemulihan psikologis korban.
“Sejak laporan masuk, kami langsung melakukan asesmen, pendampingan, serta memastikan korban mendapatkan perlindungan secara penuh. Ini merupakan komitmen Pemkot Tangerang dalam menangani kasus, terutama yang melibatkan anak dan lingkungan pendidikan,” papar Tihar, Rabu (3/12/2025).
Tihar merinci alur penanganan yang telah dilakukan:
- 7 November 2025: Korban didampingi tim UPTD PPA Kota Tangerang membuat laporan resmi ke Polres Metro Tangerang Kota.
- 10 November 2025: Korban menjalani pemeriksaan visum et repertum di RSUD Tangerang dan menerima layanan konseling psikolog di UPTD PPA sebagai bagian dari upaya pemulihan trauma.
- 17 November 2025: UPTD PPA mengundang kepala sekolah untuk klarifikasi dan membahas langkah perlindungan lanjutan. Pertemuan tersebut turut dihadiri oleh Komnas Anak Kota Tangerang.
Dari pertemuan itu, disepakati bahwa korban dapat melaksanakan ujian sekolah dari rumah untuk menghindari potensi trauma saat bertemu pelaku. Pihak dinas juga siap memfasilitasi perpindahan sekolah korban sesuai permintaan keluarga.
Kasus ini turut menjadi perhatian serius DPRD Kota Tangerang. Mustofa Kamaludin, Anggota Komisi II DPRD, menyatakan siap mengawal proses hukum dan perlindungan korban. Laporan resmi telah diterima dan akan dikaji mulai Kamis (4/12/2025) dengan memanggil Dinas Pendidikan dan Kabid SMP, sebelum Rapat Dengar Pendapat.
Pemerhati pendidikan, Ronald Tanujaya, mengapresiasi respons cepat Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang dalam penanganan kasus dugaan pelecehan seksual di SMPN 19.
“Saya mengapresiasi inisiatif Pemkot Tangerang dalam menyediakan pendampingan hukum komprehensif dan pemulihan psikologis bagi korban,” ujar Ronald.
Namun, ia juga menekankan pentingnya akuntabilitas manajerial di tingkat institusi pendidikan. Menurutnya, insiden ini menuntut pertanggungjawaban dari Kepala Sekolah sebagai pemimpin tertinggi di lingkungan tersebut.
“Perlu dipertanyakan sejauh mana efektivitas pengawasan Kepala Sekolah terhadap jajaran pengajar, mengingat insiden krusial ini terjadi di dalam area sekolah,” tambahnya.
Secara tegas, Ronald merekomendasikan adanya sanksi administratif yang signifikan. “Saya mendesak Pemkot Tangerang untuk mengevaluasi dan mencopot Kepala Sekolah SMPN 19 dari jabatannya, sebagai bentuk penegakan disiplin dan pertanggungjawaban struktural,” pungkasnya.
Di balik respons cepat pemerintah daerah dalam kasus pelecehan di SMPN 19 Tangerang, tersimpan isu sistemik yang lebih mengkhawatirkan: pola penanganan kasus perundungan yang seringkali berhenti di meja mediasi alih-alih berlanjut ke ranah hukum. Fenomena ini, yang juga terjadi dalam kasus perundungan lain di Tangerang Selatan, memunculkan kekhawatiran serius akan efektivitas perlindungan korban.
Kepala Dinas DP3AP2KB Kota Tangerang, Tihar Sopian, dan jajarannya memang sigap memberikan pendampingan psikologis dan memfasilitasi laporan polisi. Namun, banyak kasus perundungan lain yang mencuat di Tangerang Raya justru terkesan “diselesaikan” secara kekeluargaan melalui mediasi di tingkat dinas atau sekolah, tanpa menyentuh proses hukum pidana yang adil bagi korban.
Kasus perundungan di sekolah secara konsisten menunjukkan adanya kelemahan mendasar dalam implementasi program anti-perundungan yang ada. Meskipun upaya cepat dilakukan untuk menangani kasus individua.
Lalu di mana pengawasan yang berkelanjutan selama ini? Mengapa program zero tolerance tampaknya tidak efektif di lapangan, sementara realitas menunjukkan kerentanan yang signifikan, sejalan dengan kekhawatiran yang juga muncul terkait kasus serupa di Tangerang Selatan?.(Sobirin Masi/ARM)