TANGERANG SELATAN, bantensatu.id – Konflik akses jalan publik versus keamanan objek vital nasional di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) BJ Habibie, Setu, Tangerang Selatan (Tangsel) mencapai puncaknya pada Senin, 1 Desember 2025. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangsel melakukan pembongkaran paksa terhadap pagar pembatas semi-permanen yang didirikan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Pembongkaran ini dilakukan setelah serangkaian protes keras dari ratusan warga di wilayah Muncul, Setu, yang merasa akses mobilitas utama mereka di Jalan Raya Puspitek terhenti.
Pemasangan pagar oleh BRIN dilakukan dengan dalih mengamankan area riset yang diklaim sebagai Objek Vital Nasional (Obvitnas). BRIN berargumen bahwa status kawasan tersebut menuntut adanya manajemen keamanan dan kontrol akses yang lebih ketat demi keselamatan aset negara dan aktivitas penelitian.
Rencana penutupan ini sebenarnya sudah memanas sejak pertengahan tahun 2024 dan kembali mencuat pada Oktober-November 2025, saat BRIN mulai memasang rintangan fisik berupa pagar di jalan utama tersebut.
Kebijakan sepihak ini memicu reaksi keras dari masyarakat setempat. Warga menganggap Jalan Raya Puspitek sebagai urat nadi ekonomi yang vital, menghubungkan Serpong dengan wilayah Parung, Bogor. Penutupan akses ini secara langsung menghambat aktivitas harian dan roda perekonomian lokal.
“Jalan ini akses utama kami, kalau ditutup ya ekonomi mati,” ujar salah satu perwakilan warga dalam aksi protes yang sempat menggeruduk Pemkot Tangsel.
Setelah mediasi berbulan-bulan tidak kunjung menemukan titik temu yang memuaskan masyarakat, serta somasi dari pihak Pemkot Tangsel yang diabaikan, Satpol PP akhirnya bertindak tegas.
Pada Senin (1/12/2025) pagi, tim Satpol PP Tangsel diterjunkan ke lokasi. Dengan menggunakan alat berat, petugas merobohkan dan menyingkirkan pagar pembatas yang dipasang BRIN. Proses pembongkaran berlangsung kondusif di bawah pengawasan aparat keamanan dan disaksikan oleh warga sekitar.
“Kami menjalankan fungsi penegakan Perda dan memastikan hak akses publik dikembalikan. Jalan ini adalah fasilitas umum,” jelas Kepala Satpol PP Tangsel, Chaerul Soleh, di lokasi pembongkaran.
Konflik bermula ketika BRIN, yang mengelola KST BJ Habibie (kawasan riset terbesar di Indonesia), menginisiasi kebijakan penutupan atau pengalihan akses Jalan Raya Puspitek. BRIN berargumen bahwa status kawasan tersebut sebagai Objek Vital Nasional (Obvitnas) mengharapkan adanya manajemen keamanan yang lebih ketat, termasuk kontrol penuh terhadap akses keluar masuk. Rencana ini sebenarnya sudah diajukan sejak awal tahun 2024 dan mulai dieksekusi dengan pemasangan pagar dan sosialisasi pengalihan pada September-Oktober 2025.
Namun, kebijakan ini memicu resistensi signifikan dari warga di wilayah Muncul, Setu, dan sekitarnya. Bagi warga, jalan tersebut bukan sekadar jalan alternatif, melainkan urat nadi ekonomi dan akses utama yang menghubungkan Serpong menuju Parung (Bogor). Penutupan total atau sistem buka-tutup yang diusulkan BRIN dianggap melumpuhkan aktivitas sosial dan ekonomi mereka. Spanduk-spanduk penolakan mulai bermunculan di sepanjang jalan tersebut sejak Oktober 2025.
Catatan bantensatu.id, Pada Rabu, 24 April 2024, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengeluarkan kritik keras terhadap BRIN terkait polemik penutupan jalan Kawasan Puspitek di Tangerang Selatan. disampaikan melalui keterangan tertulis atau pernyataan pers resmi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta, yang kemudian dipublikasikan di berbagai media daring, termasuk di situs resmi Fraksi PKS.
Dalam pernyataannya, Mulyanto yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, menilai BRIN lalai dalam melakukan sosialisasi dan antisipasi dampak kebijakan penutupan jalan tersebut, sehingga menimbulkan “kebisingan” atau keresahan di tengah masyarakat lokal. Saat itu DPRD Tangsel juga berjanji mengawal aspirasi warga ke tingkat provinsi.
Oktober 2025, Koordinator Aksi Masyarakat Setu (AMS), Nurhendra, menyatakan bahwa dampak penutupan sangat terasa dan membuat ekonomi warga tidak berjalan. “Kalau ditutup ekonomi tak berjalan,” ujarnya, menegaskan kerugian materil yang dialami masyarakat. Warga juga mengadu ke DPRD Tangsel dan menggugat BRIN ke jalur hukum pada pertengahan Oktober 2025.
Melalui perwakilannya, BRIN bersikeras bahwa kebijakan ini diambil demi keamanan aset negara dan keselamatan penelitian di kawasan riset, dengan menawarkan solusi pengalihan jalan. Pihak BRIN juga menyebut telah mengajukan rencana ini sejak 2024 dan mengklaim telah melakukan sosialisasi, meski dikritik warga kurang masif.
Memasuli bulan Desember 2025, Setelah serangkaian protes dan desakan Pemkot Tangsel melalui Satpol PP mengambil langkah tegas. Pembongkaran dilakukan berdasarkan kewenangan pemerintah daerah atas aset jalan publik.
Baca juga: Eksodus Elite Politik Lokal Menuju Golkar Cilegon
Pasca-pembongkaran pada 1 Desember 2025, akses jalan telah kembali dibuka untuk umum. Pihak BRIN, melalui juru bicaranya, dilaporkan berjanji tidak akan kembali memblokade jalan secara sepihak, meskipun rencana jangka panjang terkait status Obvitnas kawasan tersebut masih belum sepenuhnya tuntas secara administrasi hukum.
Saat ini, Jalan Raya Puspitek telah kembali dibuka penuh dan dapat dilalui oleh masyarakat umum, mengakhiri polemik sementara antara lembaga riset pusat dan pemerintah daerah setempat.
Insiden ini menyoroti sebuah dilema fundamental dalam tata kelola ruang publik di Indonesia, benturan antara klaim keamanan negara atas aset vital dengan hak fundamental masyarakat atas akses dan mobilitas.
Meskipun klaim BRIN mengenai status Obvitnas valid secara keamanan, implementasinya cacat secara sosiologis dan administratif karena mengabaikan fungsi eksisting jalan sebagai prasarana publik yang esensial bagi kehidupan ribuan warga.
Ketiadaan solusi konkret yang adil sebelum eksekusi penutupan menunjukkan kegagalan komunikasi dan koordinasi antar-instansi pemerintah (Pusat-Daerah). Pembongkaran paksa oleh Satpol PP, meskipun menyelesaikan masalah akses sesaat, hanyalah solusi simptomatik.
Akar masalah status hukum jalan dan jaminan akses permanen di masa depan masih menggantung, menuntut regulasi yang lebih komprehensif dan berpihak pada kepentingan publik yang lebih luas.(Dudi Arifin/ARM)