Sabtu, 06 Desember 2025

Dugaan ‘Kenakalan’ Program Angkot Si Benteng Mencuat, DPRD Kota Tangerang Soroti Subsidi APBD Rp3 Miliar Per Bulan

Angkot Si Benteng
Angkot Si Bernteng yang kini jadi buah bibir aktivis anti korpsi di Kota Tangerang

KOTA TANGERANG, bantensatu,id – Program layanan transportasi publik bersubsidi “Angkot Si Benteng” di Kota Tangerang tengah menjadi sorotan tajam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat. Adanya indikasi “kenakalan” dalam pengelolaan program yang menelan anggaran subsidi sebesar Rp3 miliar setiap bulannya atau setara Rp36 miliar per tahun, memicu desakan agar dilakukan evaluasi total dan audit forensik terhadap manajemen operasional oleh Perseroda Tangerang Nusantara Global (TNG), badan usaha milik daerah (BUMD) yang mengelolanya.

Program layanan transportasi publik bersubsidi “Angkot Si Benteng” di Kota Tangerang kini berada di bawah sorotan tajam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Adanya indikasi penyimpangan dalam pengelolaan program yang mengalokasikan dana subsidi APBD sebesar Rp3 miliar per bulan setara Rp36 miliar per tahun telah memicu permintaan audit komprehensif terhadap manajemen operasional BUMD Perseroda Tangerang Nusantara Global (TNG) selaku pengelola.
Isu ini mencuat ke ruang publik pada akhir November 2025, meskipun program tersebut telah diimplementasikan sejak sekitar tahun 2021. Fokus utama kekhawatiran legislatif terletak pada diskrepansi antara besaran subsidi yang digelontorkan dengan efektivitas dan akuntabilitas layanan yang diterima oleh masyarakat.
Anggota DPRD Kota Tangerang, Saiful Milah (Abah Milah), yang didukung oleh Ketua DPRD Rusdi Alam, mengemukakan adanya ketidakjelasan dalam implementasi program dan minimnya efisiensi layanan.
“Terdapat dugaan ‘kenakalan’ operasional, di mana subsidi besar diberikan, namun standar operasional dan manfaat bagi masyarakat dinilai tidak optimal, bahkan muncul isu penyerahan operasional kepada pihak ketiga,” ungkap Milah.
“Kenakalan” operasional tersebut diduga terjadi melalui manajemen yang tidak transparan dan tidak akuntabel. Pengelolaan dana publik yang masif ini dipertanyakan karena ketidakjelasan penerima manfaat aktual dan mekanisme penyerahan operasional ke pihak ketiga yang berpotensi melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Latar belakang masalah ini berakar pada ketidakjelasan dalam implementasi program secara teknis. Program yang seharusnya menjadi solusi angkutan pengumpan (feeder) yang efisien, kini dipertanyakan validitasnya dalam mencapai target kebijakan publik yang telah ditetapkan.
Pemerintah Kota Tangerang (Pemkot) sebagai pemberi subsidi dan Perseroda TNG sebagai pelaksana didesak untuk segera membuka data operasional secara rinci guna menjawab keraguan legislatif dan publik perihal efisiensi alokasi anggaran daerah tersebut.
Awal mencuat kritikan terhadap angkot Si Benteng
Program Angkot Si Benteng mulai diluncurkan secara resmi pada Januari 2021, saat Wahyudi Iskandar ( WI) masih menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan Kota Tangerang. Namun, program ini telah menuai kritik sejak awal, bahkan mengalami fase mangkraknya 80 unit angkot di Terminal Poris Plawad pada pertengahan 2020, sebelum resmi beroperasi penuh.
Pada saat angkot-angkot tersebut mangkrak, WI, yang saat itu menjabat Kadishub, sempat irit bicara dan berjanji memberikan penjelasan detail mengenai persoalan tersebut kepada publik dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang melakukan protes. Permasalahan awal ini, yang terjadi di bawah pengawasannya, kini menjadi bagian dari konteks evaluasi menyeluruh yang didesak DPRD.
Kini, setelah Wahyudi berpindah posisi menjadi Asda III Pemkot Tangerang, isu lama kembali diangkat, menuntut pertanggungjawaban atas dasar kebijakan dan manajemen awal program yang dinilai bermasalah sejak fase pengadaan hingga operasionalisasi awal.
Program angkutan kota (angkot) modern “Si Benteng” milik Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang menuai polemik serius pada pertengahan hingga akhir tahun 2020. Sebanyak 80 unit armada baru yang telah menelan anggaran APBD senilai lebih dari Rp 15 miliar tersebut, kedapatan hanya terparkir tak terurus (mangkrak) di Terminal Poris Plawad selama berbulan-bulan, memicu reaksi keras dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tangerang Raya dan berbagai kalangan penggiat transportasi publik.
Kronologi dan Fakta Mangkrak
Pengadaan 80 unit Angkot Si Benteng telah dilaksanakan pada tahun anggaran 2019. Angkutan yang dijanjikan akan memiliki fasilitas AC dan pembayaran non-tunai (QRIS) ini sangat dinantikan masyarakat sebagai alternatif transportasi yang lebih nyaman.
Namun, memasuki pertengahan tahun 2020 (sekitar Juli 2020), alih-alih beroperasi melayani rute, puluhan angkot tersebut ditemukan terbengkalai di sudut Terminal Poris Plawad. Kondisi ini berlangsung hingga hampir satu tahun lamanya. Sebelum mangkrak, angkot-angkot ini sempat menjalani uji KIR pada bulan Maret 2020.
Kilas balik Insiden mangkraknya angkot “super mewah” ini sontak memicu kritik dan aksi unjuk rasa.
Pada tanggal 8 Desember 2020, puluhan mahasiswa dari HMI Cabang Tangerang Raya menggelar aksi demonstrasi di depan Pusat Pemerintahan Kota (Puspemkot) Tangerang. Mereka mempertanyakan kinerja Dinas Perhubungan dan menduga adanya tindak korupsi dalam proyek pengadaan tersebut.

 “Angkot super mewah yang menelan anggaran mencapai Rp 15 miliar lebih itu, hingga kini belum dioperasikan oleh Pemkot Tangerang. Kami menuntut kinerja Dinas Perhubungan Kota Tangerang perlu dievaluasi,” ujar, Rafli Ramadhan (Koordinator Aksi HMI)  mengungkapkan kekesalan HMI atas terbengkalainya aset daerah. Aksi ini bahkan diwarnai pembakaran ban sebagai simbol kekesalan.

Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kota Tangerang saat itu, Wahyudi Iskandar, sempat irit bicara saat dimintai keterangan pada awal Juli 2020. Namun, ia kemudian memberikan penjelasan saat menemui rombongan HMI dan awak media.

 Ia menjelaskan bahwa alasan utama mangkraknya 80 unit angkot tersebut adalah terganjal oleh sejumlah peraturan dan dampak dari pandemi Corona Virus Disease (COVID-19). “Selain karena Covid-19, ada juga beberapa regulasi terkait perizinan yang harus dipenuhi sebelum operasional,” dalihnya.

Baca juga: 10 Manfaat Berjalan Kaki Secara Teratur

Turidi, Wakil ketua DPRD KotaTangerang saat menemui Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tangerang Raya menggelar aksi demo di depan Gedung Puspem Kota Tangerang terkait mangkraknya Angkot si Benteng, pada Selasa (8/12/2020) lalu
Saat itu Wakil Ketua I DPRD Kota Tangerang, Turidi Susanto, turut menemui demonstran HMI. Pihak legislatif merespons desakan mahasiswa dengan menjanjikan tindak lanjut.  Ia menyatakan bahwa program Angkot Si Benteng yang mangkrak tersebut akan segera dibawa ke rapat paripurna DPRD bersama Pemkot Tangerang untuk dibahas lebih lanjut. Hingga pada akhirnya, setelah polemik panjang dan penyesuaian regulasi, angkot Si Benteng mulai beroperasi secara bertahap dan resmi dicanangkan beroperasi penuh pada Januari 2021, melayani rute-rute feeder.
Kasus angkot “Si Benteng” di Kota Tangerang kini menjadi sorotan tajam, bukan hanya sebagai kisah kegagalan proyek infrastruktur, tetapi sebagai studi kasus dilema kebijakan publik yang melibatkan manajemen aset daerah dan transparansi fiskal.
Dari polemik awal mangkraknya puluhan armada senilai miliaran rupiah, isu ini bermutasi menjadi pertanyaan fundamental mengenai akuntabilitas pemerintah daerah. Di satu sisi, penerusan operasional oleh BUMD PT TNG didasarkan pada argumen mitigasi kerugian investasi APBD yang sudah terlanjur dikeluarkan. Di sisi lain, para penggiat anti-korupsi memandang langkah ini sebagai upaya pemutihan atau legitimasi terhadap proses pengadaan yang sejak awal dinilai bermasalah.
Dinamika ini menempatkan PT TNG di persimpangan jalan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Kalangan aktivis dan akademisi kini menuntut evaluasi mendalam, khususnya terkait rasio biaya-manfaat (Cost-Benefit Analysis) dan audit keuangan yang independen.
Dengan demikian, angkot “Si Benteng” bukan sekadar moda transportasi. Ia adalah simbol nyata dari kompleksitas birokrasi dan tantangan akuntabilitas di pemerintahan daerah. Pertanyaan kuncinya tetap menggantung: Apakah proyek ini akan menjadi warisan manfaat transportasi publik, atau justru menjadi monumen pemborosan anggaran daerah yang abadi? Publik menantikan transparansi dan ketegasan dari eksekutif dan legislatif Kota Tangerang.( Arin  Masi/ARM)

 

Tags

Terkini