BANDUNG, bantensatu.id — Di tengah upaya kolektif memperkuat kohesi sosial di era disrupsi informasi, publik nasional diguncang oleh manifestasi intoleransi digital yang dilakukan oleh seorang kreator konten, Muhammad Adimas Firdaus Putra Nasihan. Melalui akun “Resbob”, Adimas meluncurkan narasi diskriminatif yang mendegradasi marwah etnisitas Sunda dan entitas suporter Viking Persib Club, sebuah tindakan yang berujung pada keruntuhan reputasi akademik dan pengejaran yudisial yang dramatis.
Eskalasi konflik bermula pada awal Desember 2025, ketika fragmen video siaran langsung pelaku memicu turbulensi emosional di ruang siber, yang kemudian memuncak pada pelaporan resmi ke Polda Jawa Barat atas dugaan pelanggaran berlapis UU ITE.

Respons institusional terhadap perilaku amoral ini terjadi secara simultan dan tegas melalui kebijakan “zero tolerance”. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS), sebagai rahim akademik pelaku, mengambil langkah drastis dengan menjatuhkan sanksi Drop Out (DO) berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 324 Tahun 2025.Rektor UWKS, Rr Nugrahini Susantinah Wisnujati, dalam pernyataan resminya menegaskan keprihatinan mendalam.
“Tindakan tersebut sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila maupun karakter budaya UWKS. Kami mengecam keras segala bentuk diskriminasi SARA; sanksi ini adalah bentuk pertanggungjawaban moral kami demi menjaga integritas institusi serta nilai kebangsaan yang kami junjung tinggi.”
Di koridor penegakan hukum, otoritas kepolisian bergerak cepat meredam potensi konflik horizontal. Terhitung sejak Senin malam, 15 Desember 2025, Adimas Firdaus telah diamankan dan tiba di Mapolda Jabar dengan pengawalan ketat. Pihak kepolisian menyatakan bahwa proses hukum akan dijalankan secara transparan guna memberikan kepastian keadilan bagi masyarakat yang terluka. Langkah ini selaras dengan desakan kolektif komunitas suporter Viking Persib Club yang menuntut akuntabilitas hukum atas penghinaan tersebut, sembari tetap mengimbau anggotanya untuk tidak melakukan tindakan main hakim sendiri yang dapat mencederai perjuangan mereka dalam menuntut keadilan.
Menanggapi residu konflik yang tersisa, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, muncul sebagai poros penenang dengan menyerukan rekonsiliasi berbasis hukum (Rule of Law). Farhan menggarisbawahi bahwa martabat masyarakat Sunda tidak boleh tereduksi oleh respons anarkis.
“Kita serahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum. Masyarakat tidak perlu mengambil tindakan sendiri. Orang Sunda punya karakter sopan dan berbudaya, jangan sampai kita ikut melakukan penghinaan. Tetap tenang, tunjukkan kedewasaan dalam bersikap karena menjaga martabat bukan dengan kemarahan,” tutur Farhan dalam imbauan resminya kepada warga Bandung.
Sebagai refleksi krusial, peristiwa pahit ini menjadi monumen peringatan bahwa kebebasan berekspresi berakhir tepat di titik di mana kehormatan pihak lain dimulai. Fenomena ini membuktikan bahwa kegagalan etika di ruang virtual berimplikasi langsung pada pemutusan masa depan profesional dan ancaman pidana yang nyata.
Kiranya, kejatuhan akademik dan jeratan hukum yang menimpa pelaku menjadi cermin bagi kita semua, bahwa di tengah belantara teknologi yang kian canggih, adab harus tetap menjadi panglima tertinggi, dan di atas amarah yang membuncah, kedewasaan bersikap adalah identitas sejati dari sebuah peradaban yang bermartabat.(Red/Faisal)


