Sabtu, 06 Desember 2025

Kematian Sunyi di Pasar Ciputat, Antara Logika Revitalisasi dan Realita Ekonomi Digital

Pedagang pasar ciputat
Beberapa pedagang masih menunggu solusi atas keadaan sepi pasar Ciputat karena tidak memiliki pilihan lain Foto Istimewa

TANGERANG SELATAN, bantensatu–Fenomena sepinya kios di Pasar Ciputat, yang telah direvitalisasi sejak pertengahan 2022 dan rampung pada tahun 2023, menjadi sebuah studi kasus ekonomi yang kompleks dan menggugah. Sejak revitalisasi tersebut, pasar yang dibangun dengan harapan menjadi pusat perdagangan modern justru menghadapi ironi: gedung megah ditinggalkan pedagang, sementara aktivitas ekonomi bergeser ke pinggir jalan. Berdasarkan pantauan hingga hari ini, 4 Desember 2025, ratusan kios dan los, terutama di lantai atas, kosong melompong, kontras dengan keramaian pedagang kaki lima (PKL) yang kembali memadati trotoar.

Penyebab meredupnya denyut nadi Pasar Ciputat tidak tunggal, melainkan merupakan interseksi dari berbagai faktor struktural dan non-struktural: disonansi ruang dan kebiasaan konsumen yang enggan ke lantai atas, hantaman e-commerce, kesenjangan harga akibat persaingan dengan PKL liar, kegagalan revitalisasi pasca-proyek dalam mengintegrasikan ekosistem pedagang, serta lemahnya penegakan regulasi terhadap pedagang liar yang menciptakan siklus destruktif.
Kondisi ini memicu keresahan mendalam di tingkat pelaku usaha maupun otoritas. Pedagang kios menggambarkan pasar sepi bak kuburan dan terancam gulung tikar. Rais (45), seorang pedagang sembako di lantai dua, mengaku, “Sudah berbulan-bulan sepi. Kami rugi terus. Kami inginnya pasar kembali ramai seperti dulu,”. Warganet dan publik mempertanyakan efektivitas proyek infrastruktur yang menghamburkan anggaran.
Mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah Kota (Pemkot) Tangsel berencana menata ulang dengan wacana konsep seperti Malioboro atau Braga, sementara Kementerian UMKM mendorong adaptasi digital sebagai solusi fundamental perubahan gaya beli masyarakat. Upaya penataan dan relokasi untuk menertibkan kawasan tersebut telah beberapa kali diinisiasi Pemkot, namun belum memberikan hasil maksimal.
Pedagang berjualan diluar
Pedagang memilih berjualan ditrotoar berharap bisa menjuala barang dagangannya
Para pedagang secara persisten kembali turun ke trotoar setelah penertiban, menyebabkan siklus ketidaktertiban berulang. Solusi fisik seperti pemasangan pagar di sekitar pasar pun diapungkan sebagai opsi jangka pendek.
Sepinya Pasar Ciputat menimbulkan dampak domino yang merugikan mulai  dari penurunan omzet signifikan, ancaman kebangkrutan, penurunan kontribusi pajak daerah, penciptaan lingkungan kumuh, konflik sosial antara pedagang legal dan ilegal, serta kerugian fiskal karena dana revitalisasi menjadi sunk cost. Pemkot Tangsel berencana terus melakukan penataan, namun efektivitasnya dipertanyakan tanpa solusi terintegrasi antara pasar fisik dan digital serta penegakan hukum yang konsisten.

Kasus Pasar Ciputat bukan sekadar kisah sebuah pasar tradisional yang sepi, melainkan epilog dari sebuah revitalisasi yang gagal dan cerminan dari ketidakmampuan sistemik dalam beradaptasi dengan dinamika ekonomi kontemporer. Ini adalah silent crisis yang mengancam keberlangsungan ekonomi mikro dan kedaulatan pasar tradisional di era disrupsi digital.
Kepada Kementerian Perindustrian dan UKM, kasus ini adalah panggilan nyata untuk intervensi yang cerdas dan terukur. Revitalisasi fisik tanpa dibarengi revitalisasi ekosistem dan strategi adaptasi digital hanyalah proyek prestise yang menanggulangi gejala, bukan menyentuh akar permasalahan. Diperlukan sinergi antara kebijakan pemerintah, adaptasi teknologi, dan pemahaman mendalam terhadap perilaku konsumen untuk mengembalikan denyut nadi Pasar Ciputat.
Kisah pasar ini adalah pengingat bahwa pembangunan infrastruktur harus selalu bersinergi dengan pembangunan manusia dan ekosistem ekonomi. Jika tidak, maka infrastruktur semegah apapun akan menjadi monumen bisu bagi kegagalan sebuah kebijakan yang tidak mampu menjawab tantangan zaman.
(Dudi Arifin/ARM)

Tags

Terkini