Jumat, 19 Desember 2025

Pemprov Banten

Membongkar Amisnya ‘Emas Hitam’ Tangsel, Di Balik Gunungan Sampah, Ada Rupiah yang Menguap dan Hukum yang Bicara

TPA CIipeucang Serpong
Aktivis lingkungan hidup yang tergabung dalam Sekber Kota Tangsel menggelar aksi unjuk rasa di lokasi TPA Cipeucang yang longsor, Foto istimewa
TANGERANG SELATAN, bantensatu – Di balik fasad kemajuan properti yang ambisius dan gemerlap pusat perbelanjaan kelas atas, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) kini tercekik oleh persoalan purba yang gagal terurai, yakni  Sampah. Fenomena ini bukan lagi sekadar isu sanitasi, melainkan telah bermutasi menjadi krisis kemanusiaan, konflik geopolitik lokal, hingga skandal hukum yang memaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan membedah amisnya tata kelola birokrasi.
Pusat prahara ini bermuara di TPA Cipeucang, Kecamatan Serpong. Dengan luas yang semakin terhimpit pemukiman mewah dan padat penduduk, lokasi ini memikul beban mahaberat yang tak lagi masuk akal:

Produksi Sampah, Tangsel memuntahkan lebih dari 1.000 ton sampah per hari dari 1,4 juta jiwanya, kondisi Eksisting di TPA Cipeucang telah dinyatakan overload (melebihi kapasitas) kronis. Pada pertengahan Desember 2025, operasional sempat lumpuh total, Hal ini memicu tumpukan sampah meluber ke jalan-jalan protokol seperti kawasan Ciputat hingga mengubah estetika kota menjadi “hutan limbah” yang menyesakkan.

Berikut adalah tabel kronologi krisis dan aksi unjuk rasa persampahan di Tangerang Selatan yang telah dirapikan dengan format bergaris:
Tanggal Peristiwa Penting Lokasi Terdampak Utama Aktor Terlibat Dampak & Keterangan
Senin, 8 Des 2025 Aksi massa menuntut penutupan TPA permanen. TPA Cipeucang, Serpong Warga Kampung Curug (RT 06/RW 04) Terjadi ketegangan dan adu mulut; TPA ditutup sementara.
8–11 Des 2025 Penutupan total operasional pembuangan sampah. Seluruh wilayah Kota Tangsel Armada Truk & Pemkot Tangsel Sampah meluber ke jalan protokol akibat truk tidak bisa membuang.
Jumat, 12 Des 2025 Protes sporadis warga dan pedagang pasar. Kawasan Ciputat & Pasar Cimanggis Pedagang, Pengguna Jalan, Warga Kelumpuhan estetika kota; aroma busuk mengganggu ekonomi.
Minggu, 14 Des 2025 Langkah darurat mitigasi aroma busuk. TPA Cipeucang, Serpong Pemerintah Kota (Pemkot) Tangsel Pemasangan terpal raksasa pada gunungan sampah yang overload.
Selasa, 16 Des 2025 TPA dibuka terbatas & evakuasi sampah masif. Area Pasar Ciputat & Jalan Protokol DLH & Petugas Kebersihan Pembersihan tumpukan sampah liar yang menumpuk selama sepekan.
Selasa, 16 Des 2025 Eskalasi politik dan pengawasan anggaran. Gedung DPRD Kota Tangsel DPRD Kota Tangsel Pembentukan Pansus Persampahan untuk investigasi anggaran.

Krisis ini kini berada di bawah pengawasan ketat lembaga antirasuah (KPK) terkait dugaan kerugian negara dalam biaya pengelolaan dan transportasi sampah yang mencapai Rp21,6 – Rp25 miliar. Situasi per 17 Desember 2025 menunjukkan normalisasi pengangkutan secara bertahap, namun penolakan dari wilayah luar (seperti Serang) masih menjadi tantangan bagi skema pembuangan sampah Tangsel.
Direktur Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah II KPK, Bahtiar Ujang Purnama, memberikan komentar yang bersifat instruktif, tegas, dan menyoroti celah korupsi pada sistem tata kelola persampahan di Tangerang Selatan.
“Anggaran yang besar dalam pengolahan sampah harus akuntabel. Kami mengingatkan Pemerintah Kota bahwa setiap rupiah yang keluar untuk pengangkutan dan pengolahan harus bisa dipertanggungjawabkan secara riil, bukan sekadar laporan di atas kertas yang rentan manipulasi data volume sampah, tegas Bahtiar Ujang Purnama.
Terkait ketergantungan Tangsel membuang sampah ke wilayah lain (seperti Serang), Bahtiar memberikan peringatan bahwa pola ini berpotensi menimbulkan praktik suap dalam proses perizinan dan kerja sama antar-daerah.
“Pemkot Tangsel harus segera beralih ke solusi teknologi permanen. Pola memindahkan masalah ke daerah lain tidak hanya memicu konflik sosial, tapi juga menciptakan celah transaksi gelap di balik kontrak kerja sama tersebut. KPK mendorong adanya perbaikan sistem melalui digitalisasi monitoring sampah.” imbuhnya.
Inilah alasan  masyarakat menggugat, yakni  bau busuk hingga ancaman maut hingga gelombang protes warga mencapai puncaknya pada Jumat (12/12/25)  saat massa menggeruduk kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Penolakan warga didasari oleh ketakutan yang nyata mulai dari dampak kesehata, bau menyengat yang tercium hingga radius kilometer dan aliran air lindi beracun yang mengalir ke aspal setiap hujan turun.
Trauma longsor, Bayang-bayang tragedi longsor sampah masa lalu menghantui warga yang kini hanya disuguhi pemandangan gunungan sampah ditutup terpal sebagai “solusi” instan dan lumpuhnya martabat Kota Tangsel,  sampah yang tak terangkut berhari-hari menutup akses jalan, merampas hak warga atas lingkungan yang layak dan asri.
 Tim bantensatu.id coba menlisik persoalan ekspor masalah sampah di Tangsel, yakni perjanjian yang memantik ‘Perang’ Saudara, Alih-alih menuntaskan masalah di hulu, Pemkot Tangsel memilih jalur pintas, yakni membuang limbah keluar wilayah, seperti ke TPA Cilowong (Serang). Namun, strategi ini justru menyulut api perlawanan baru. Warga di lokasi tujuan melakukan aksi blokade terhadap truk-truk pengangkut asal Tangsel.

“Kami menolak menjadi tempat sampah raksasa bagi kota yang kaya namun tak mampu mengurus dapurnya sendiri!” pekik seorang orator dalam aksi blokade di gerbang TPA luar wilayah. Hal ini membuktikan bahwa “menyapu sampah ke bawah karpet tetangga” bukan lagi opsi yang bisa diterima secara moral maupun sosial.
Persoalan ini secara resmi bergeser ke ranah hukum pidana. Kejaksaan Tinggi Banten mencatat dugaan kerugian negara dalam pengelolaan sampah di Tangsel yang mencapai angka fantastis, yakni Rp21,6 miliar hingga Rp25 miliar. KPK pun angkat suara, memberikan peringatan keras bahwa tata kelola yang tidak transparan dan berlarut-larut sangat rentan terhadap praktik rasuah. Intervensi KPK bertujuan memastikan agar anggaran jumbo yang seharusnya untuk teknologi pengolahan modern tidak berakhir menjadi “bancakan” oknum pejabat di tengah penderitaan rakyat yang menghirup bau busuk setiap hari.
Iqbal (42), salah satu pengunjuk rasa di TPA Cipeucang merasa kesal atas langkah Pemkot Tangsel memberikan solusi menggunungnya persoalan sampah.

 “Kami membayar pajak untuk kemajuan, tapi yang kami hirup setiap pagi adalah bau bangkai. Pemerintah hanya memberi terpal, sementara kami butuh solusi permanen,” keluh Iqbal saat menduduki kantor UPT Cipeucang.

Para aktivis lingkungan menilai janji “investor” dan “teknologi modern” ini seringkali menjadi narasi pengulang setiap kali terjadi krisis di Cipeucang. Publik kini menagih bukan sekadar “pengangkutan massal” sebelum 2026, melainkan bukti nyata mulainya konstruksi pengolahan sampah yang tidak lagi mengandalkan sistem tumpuk-buang yang primitif, salah satunya perspektif Aktivis Suryadi dari Forum Pemerhati Pembangunan menilai ini sebagai kegagalan sistemik.

Baca juga: Geram dengan Penghinaan Kesukuan, Begini Reaksi Tegas Wali Kota Bandung

“Tangsel seharusnya sudah memiliki teknologi Waste-to-Energy, bukan terus menumpuk kotoran di halaman belakang warga atau membuangnya ke rumah orang lain,” tegasnya.

Menanggapi lumpuhnya sistem pengangkutan yang mengubah jalan protokol menjadi “hutan limbah”, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangsel, Bani Khosyatullah, mengeluarkan pernyataan resmi yang bernada permohonan maaf sekaligus janji ambisius.

“Secara terbuka kami memohon maaf kepada seluruh warga atas ketidaknyamanan ekstrem ini. Penumpukan di Ciputat dan sekitarnya adalah imbas teknis penataan di Cipeucang dan dinamika di lapangan. Namun kami berjanji, melalui ‘Operasi Bersih Masif’, seluruh sampah di jalanan akan tuntas terangkut sebelum fajar 2026 menyingsing,” ujar Bani Khosyatullah saat ditemui di sela peninjauan armada.

Baca juga: Aksi Simbolik FSRKT Menuntut Restorasi Akses Publik di Puspem Tangerang

“Kami sedang memfinalisasi kerja sama investor dengan skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha) untuk membangun PLTSa. Fokus kita adalah memusnahkan sampah di lokasi, bukan lagi sekadar memindahkan masalah ke tempat lain. Terkait pengawasan hukum, kami pastikan DLH akan kooperatif terhadap audit anggaran Rp25 miliar yang tengah disorot,” tambahnya dengan nada defensif.
Di sisi lain, Gedung DPRD Kota Tangsel bergolak. Janji manis birokrasi tidak lagi cukup untuk meredam kekecewaan para wakil rakyat. Pada Selasa (16/12/25) , DPRD resmi mengetuk palu pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Persampahan.
“Kami tidak bisa lagi hanya mendengar janji ‘investor’ yang selalu berulang setiap tahun saat Cipeucang overload. Rakyat sudah berkorban dengan bau dan penyakit, sementara anggaran puluhan miliar disinyalir tidak terkelola dengan akuntabel,”tegas Wakil Ketua II DPRD Tangsel Wanto Sugito dari Fraksi PDI Perjuangan
“Pansus ini dibentuk bukan sekadar formalitas, tapi untuk membedah aliran dana dan kegagalan sistemik yang memalukan ini. Jika ada unsur korupsi, kami dukung KPK untuk menyikatnya!” Tambahnya tegas.
Para aktivis lingkungan menilai janji “investor” dan “teknologi modern” ini seringkali menjadi narasi pengulang setiap kali terjadi krisis di Cipeucang. Publik kini menagih bukan sekadar “pengangkutan massal” sebelum 2026, melainkan bukti nyata mulainya konstruksi pengolahan sampah yang tidak lagi mengandalkan sistem tumpuk-buang yang primitif.
Krisis sampah Tangsel tahun 2025 adalah cermin retak dari sebuah perencanaan kota yang hanya memuja pertumbuhan fisik namun mengabaikan sistem metabolisme lingkungannya. Di mana negara alpa dalam merencanakan masa depan limbahnya, di situ hukum akan berbicara. Kini, publik menanti, Apakah Tangsel akan bangkit membersihkan diri dari sampah dan korupsi, atau selamanya tenggelam dalam gunungan kelalaian birokrasi?. (Ajie Pangestu/ARM)

Tags

Terkini