KABUPATEN SERANG, bantensatu.id – Krisis kontaminasi material radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, memasuki babak baru dengan adanya dugaan kuat bahwa paparan tersebut telah berlangsung secara laten sejak tahun 2021. Investigasi mendalam yang dilakukan oleh tim gabungan otoritas dan media mengindikasikan adanya kelemahan fundamental dalam sistem pengawasan limbah impor dan tata kelola bahan berbahaya dan beracun (B3) di Indonesia.
Dugaan kuat mengemuka bahwa peristiwa kontaminasi material radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, telah berlangsung secara laten sejak tahun 2021. Hal ini terkuak setelah investigasi mendalam menyusul mencuatnya kasus ini ke ranah publik pada Agustus 2025.
Area terdampak meliputi kawasan pabrik pengolahan udang PT Bahari Makmur Sejati (PT BMS) dan area pengumpulan besi bekas di lingkungan pemukiman warga di Cikande. Sumber kontaminasi diduga berasal dari limbah logam bekas impor yang diolah oleh PT Peter Metal Technology (PT PMT), sebuah fasilitas peleburan logam yang kini telah menghentikan operasionalnya.
Kejadian ini mulai terungkap ke publik pada Agustus 2025, dipicu oleh temuan Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat yang mendeteksi adanya kontaminasi Cs-137 pada sampel produk ekspor udang beku asal Indonesia. Penelusuran hulu-hilir kemudian mengarah pada klaster industri di Cikande.
Penyebab fundamental dari insiden krisis lingkungan ini diduga kuat berasal dari lemahnya sistem pengawasan impor material besi bekas yang berpotensi terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun (B3), khususnya Cs-137. Material radioaktif tersebut ditengarai masuk ke rantai industri lokal dan tersebar ke lingkungan pemukiman melalui dua mekanisme utama, yakni yang pertama proses industri peleburan di PT PMT yang tidak memenuhi standar keselamatan nuklir, dan yang kedua penanganan limbah padat yang tidak tepat, menyebabkan kontaminasi silang ke produk pangan (udang) dan lingkungan tempat tinggal warga sekitar.
Pihak berwenang yang kini terlibat dalam penanganan dan mitigasi meliputi Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), jajaran Polri, serta Pemerintah Daerah setempat. Fokus penanganan saat ini adalah dekontaminasi dan penjaminan kesehatan masyarakat terdampak.
Kasus ini bermula pada Agustus 2025 ketika FDA Amerika Serikat mendeteksi adanya kontaminasi Cs-137 pada sampel udang beku yang diimpor dari Indonesia. Investigasi multiobat kemudian mengarah pada PT BMS di Cikande. Penyelidikan BAPETEN dan Polri menemukan paparan radiasi signifikan di lokasi pengumpulan besi bekas di kawasan tersebut, yang diduga kuat terkait dengan operasional PT PMT yang telah tutup sejak 2021.
Laju dosis radiasi di beberapa titik bahkan mencapai 875.000 kali lipat dari radiasi alamiah normal, sebuah “alarm keras bagi Indonesia”. Hingga November 2025, tim penanganan telah melakukan dekontaminasi ekstensif, merelokasi 63 warga terdampak sementara, dan menyatakan 20 dari 22 pabrik yang terindikasi telah bersih dari kontaminasi.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar, menyatakan penanganan dilakukan secara tegas dan cepat. “Paparan Cesium-137 di Cikande mencapai 875.000 kali radiasi alam, ini alarm keras bagi Indonesia,” ujarnya pada awakmedia . KLHK juga menekankan prinsip polluter pays principle, di mana biaya pembersihan harus ditanggung oleh perusahaan pencemar.
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) mengonfirmasi penemuan dan pengamanan material radioaktif. “BAPETEN bersama POLRI telah melakukan pengamanan sementara terhadap tempat pengumpulan besi bekas tersebut dengan memasang garis polisi,” kata Deputi Pengkajian Keselamatan Nuklir BAPETEN, Haendra Subekti perwakilan BAPETEN pada 25 Sepetember dalam siaran persnya. BAPETEN juga mengawasi pemeriksaan kesehatan warga terdampak, di mana sembilan orang terdiagnosis terkontaminasi internal dan diberikan pil prussian blue.
Menyoroti lemahnya pengawasan impor, Guru Besar Teknik Kimia UMS (Dr. Ir. Heru Supriyadi, M.Sc. mengomentari bahwa kasus ini bukti lemahnya pengawasan dan tata kelola limbah
“Kasus ini adalah bukti lemahnya pengawasan dan tata kelola limbah berbahaya. Perlu ada portal monitor radiasi yang lebih ketat di setiap titik masuk barang impor,” komentarnya.
Baca juga: 8 Khasiat Buah Nanas yang Perlu Anda Ketahui
Insiden kontaminasi material radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Cikande telah memanifestasikan dampak yang bersifat multidimensional, mencakup spektrum kesehatan masyarakat, integritas ekologis, serta stabilitas sosio-ekonomi regional demikikian dikatakan sejumlah analis
Konsekuensi Kesehatan Masyarakat (Dampak Kesehatan)
Paparan radiasi dosis tinggi Cs-137 menimbulkan risiko kesehatan akut dan kronis yang signifikan. Secara klinis, individu yang terpapar dapat mengalami Acute Radiation Sickness (ARS), manifestasi luka bakar radiasi, serta gejala mual dan muntah.
Dalam jangka panjang, risiko substansial terletak pada potensi kerusakan genetik (mutasi DNA) yang mengarah pada peningkatan insidensi penyakit neoplastik (kanker). Hingga laporan terkini, sembilan warga lokal yang teridentifikasi terkontaminasi secara internal telah menjalani regimen perawatan medis intensif untuk meminimalisir efek biologis radiasi.
Degradasi Ekologis (Dampak Lingkungan)
Ancaman lingkungan dari Cs-137 bersifat persisten karena karakteristik radioisotopnya yang memiliki waktu paruh (half-life) relatif panjang, yakni sekitar 30 tahun. Durasi ini mengindikasikan bahwa material tersebut akan tetap menjadi ancaman radiologis bagi ekosistem selama beberapa dekade mendatang apabila tidak ditangani secara tuntas.
Kontaminasi yang terjadi mencakup spektrum lingkungan yang luas, termasuk matriks tanah, badan air, dan yang paling krusial, infiltrasi ke dalam rantai pangan lokal, sebagaimana terbukti dari temuan kontaminasi pada produk udang beku.
Disrupsi Sosio-Ekonomi (Dampak Ekonomi dan Sosial)
Secara ekonomi, insiden ini memicu kerugian besar pada sektor industri ekspor, terutama subsektor perikanan, akibat penolakan produk di pasar internasional. Krisis ini juga menciptakan ketidakpastian sosial di kalangan warga terdampak, yang mengalami dislokasi (kehilangan tempat tinggal sementara) dan kehilangan mata pencaharian.
Lebih lanjut, pemerintah daerah dan pusat dihadapkan pada beban finansial yang signifikan untuk membiayai operasi relokasi, proses dekontaminasi yang kompleks, mahal, dan memakan waktu lama. Kasus Cikande menjadi preseden penting yang menuntut evaluasi menyeluruh terhadap sistem keamanan nuklir dan pengelolaan limbah industri di Indonesia. (Yanuar Sanusi/ARM)